Lutfallah Gari, seorang peneliti sejarah sains dan teknologi Islam dari
Arab Saudi mencoba menelusuri rahasia penemuan kacamata secara
mendalam. Ia mencoba membedah sejumlah sumber asli dan meneliti
literatur tambahan. Investigasi yang dilakukannya itu membuahkan sebuah
titik terang. Ia menemukan fakta bahwa peradaban Muslim di era keemasan
memiliki peran penting dalam menemukan alat bantu baca dan lihat itu.
Lewat tulisannya bertajuk The Invention of Spectacles between the East
and the West, Lutfallah mengungkapkan, peradaban Barat kerap mengklaim
sebegai penemu kacamata. Padahal, jauh sebelum masyarakat Barat mengenal
kacamata, peradaban Islam telah menemukannya. Menurut dia, dunia Barat
telah membuat sejarah penemuan kacamata yang kenyataannya hanyalah
sebuah mitos dan kebohongan belaka.
''Mereka sengaja membuat sejarah bahwa kacamata itu muncul saat
Etnosentrisme,'' papar Lutfallah. Menurut dia, sebelum peradaban
manusia mengenal kacamata, para ilmuwan tdari berbagai peradaban telah
menemukan lensa. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya kaca.
Lensa juga dikenal pada beberapa peradaban seperti Romawi, Yunani,
Hellenistik dan Islam. Berdasarkan bukti yang ada, lensa-lensa pada saat
itu tidak digunakan untuk magnification (perbesaran), tapi untuk
pembakaran. Caranya dengan memusatkan cahaya matahari pada fokus
lensa/titik api lensa.
Oleh karena itu, mereka menyebutnya dengan nama umum "pembakaran
kaca/burning mirrors". ''Hal ini juga tercantum dalam beberapa literatur
yang dikarang sarjana Muslim pada era peradaban Islam,'' tutur
Lutfallah. Menurut dia, fisikawan Muslim legendaris, Ibnu al-Haitham
(965 M-1039 M), dalam karyanya bertajuk Kitab al-Manazir (tentang optik)
telah mempelajarai masalah perbesaran benda dan pembiasan cahaya.
Ibnu al-Haitam mempelajari pembiasan cahaya melewati sebuah permukaan
tanpa warna seperti kaca, udara dan air. "Bentuk-bentuk benda yang
terlihat tampak menyimpang ketika terus melihat benda tanpa warna". Ini
merupakan bentuk permukaan seharusnya benda tanpa warna," tutur
al-Haitham seperti dikutip Lutfallah.
Inilah salah satu fakta yang menunjukkan betapa ilmuwan Muslim Arab pada
abadke-11 itu telah mengenali kekayaan perbesaran gambar melalui
permukaan tanpa warna. Namun, al-Haitham belum mengetahui aplikasi
yang penting dalam fenomena ini. Buah pikir yang dicetuskan Ibnu
al-Haitham itu merupakan hal yang paling pertama dalam bidang lensa.
Paling tidak, peradaban Islam telah mengenal dan menemukan lensa lebih
awal tiga ratus tahun dibandingkan Masyarakat Eropa. Menurut Lutfallah,
penemuan kacamata dalam peradaban Islam terungkap dalam puisi-puisi
karya Ibnu al-Hamdis (1055 M- 1133 M). Dia menulis sebuah syair yang
menggambarkan tentang kacamata. Syair itu ditulis sekitar200 tahun,
sebelum masyarakat Barat menemukan kacamata. Ibnu al-Hamdis
menggambarkan kacamata lewat syairnya antara lain sebagai berikut:
''Benda bening menunjukkan tulisan dalam sebuah buku untuk mata, benda
bening seperti air, tapi benda ini merupakan batu. Benda itu
meninggalkan bekas kebasahan di pipi, basah seperti sebuah gambar sungai
yang terbentuk dari keringatnya,'' tutur al-Hamdis.
Al-Hamdis melanjutkan, ''Ini seperti seorang yang manusia yang pintar,
yang menerjemahkan sebuah sandi-sandi kamera yang sulit diterjemahkan.
Ini juga sebuah pengobatan yang baik bagi orang tua yang lemah
penglihatannya, dan orang tua menulis kecil dalam mata mereka.''
Syair al-Hamids itu telah mematahkan klaim peradaban Barat sebagai
penemu kacamata pertama. Pada puisi ketiga, penyair Muslim legendaris
itu mengatakan, "Benda ini tembus cahaya (kaca) untuk mata dan
menunjukkan tulisan dalam buku, tapi ini batang tubuhnya terbuat dari
batu (rock)".
Selanjutnya dalam dua puisi, al-Hamids menyebutkan bahwa kacamata
merupakan alat pengobatan yang terbaik bagi orang tua yang menderita
cacat/memiliki penglihatan yang lemah. Dengan menggunakan kacamata,
papar al-Hamdis, seseorang akan melihat garis pembesaran.
Dalam puisi keempatnya, al-Hamdis mencoba menjelaskan dan menggambarkan
kacamata sebagai berikut: "Ini akan meninggalkan tanda di pipi, seperti
sebuah sungai". Menurut penelitian Lutfallah, penggunaan kacamata mulai
meluas di dunia Islam pada abad ke-13 M. Fakta itu terungkap dalam
lukisan, buku sejarah, kaligrafi dan syair.
Dalam salah satu syairnya, Ahmad al-Attar al-Masri telah menyebutkan
kacamata. "Usia ua datang setelah muda, saya pernah mempunyai
penglihatan yang kuat, dan sekarang mata saya terbuat dari kaca."
Sementara itu,sSejarawan al-Sakhawi, mengungkapkan, tentang seorang
kaligrafer Sharaf Ibnu Amir al-Mardini (wafat tahun 1447 M). "Dia
meninggal pada usia melewati 100 tahun; dia pernah memiliki pikiran
sehat dan dia melanjutkan menulis tanpa cermin/kaca. "Sebuah cermin
disini rupanya seperti lensa,'' papar al-Sakhawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar